Minggu, 11 Agustus 2013

Perencanaan Strategis Dan Kebijakan SP/SB


MODUL PELATIHAN MEMBANGUN
PERENCANAAN STRATEGIS
DAN KEBIJAKAN SP/SB

INTERNATIONAL LABOUR ORGANIZATION

Proyek Pendidikan Untuk Pekerja di Indonesia 
2003

DAFTAR ISI 
MATERI
. . . .

selanjut-nya

Senin, 10 Juni 2013

MOGOK

MOGOK

ILO PRINSIP MOGOK

Prinsip dasar tentang hak mogok

(Pancasila) Program Militan





Nasionalisasi pertambangan dan sektor industri besar
Gas, minyak, dan tambang mineral harus ada di tangan negara dimana perencanaan industri tambang migas diletakkan di bawah kontrol buruh secara demokratis. Nasionalisasi sektor-sektor industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Semua industri nasional dijalankan di bawah kontrol dan manajemen buruh dan diintegrasikan ke dalam ekonomi terencana yang demokratis.



Kebebasan berserikat dan mogok
Tolak semua undang-undang anti-buruh yang mengekang kebebasan berserikat rakyat pekerja. Hentikan intimidasi terhadap buruh yang berserikat atau yang ingin berserikat.

Kepastian kerja untuk semua rakyat dan upah layak untuk penghidupan
Ciptakan pekerjaan untuk semua rakyat. Setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dengan jaminan sosial penuh, status kerja tetap yang aman dan bukan status kerja kontrak, perlindungan dari pemecatan sewenang-wenang, dan jaminan atas upah layak untuk penghidupan. Kurangi jam kerja menjadi 35-jam kerja tanpa pemotongan gaji. Pensiun sukarela pada umur 55 tahun dengan uang pensiun yang layak untuk penghidupan.

Rumah untuk semua rakyat
Rumah yang sehat, bersih, dan layak harus disediakan kepada setiap penduduk Indonesia. Hentikan dengan segera segala bentuk penggusuran terhadap rakyat miskin. Segera mulai proyek pembangunan perumahan sosial secara nasional untuk rakyat miskin.



Pelayanan kesehatan gratis dan bermutu untuk semua rakyat
Hentikan privatisasi jasa pelayanan kesehatan. Bentuk sistem pelayanan kesehatan nasional yang gratis dan bermutu untuk semua penduduk Indonesia tanpa memandang perbedaan status sosial dan ekonomi. Setiap orang harus mendapatkan asuransi kesehatan penuh dari negara.



Pendidikan gratis bermutu
Investasi masif untuk pendidikan nasional. Sediakan pendidikan yang sepenuhnya gratis dari tingkat kanak-kanak hingga perguruan tinggi, dengan bantuan beasiswa untuk biaya hidup pelajar. Hentikan privatisasi sekolah dan perguruan tinggi.



Program sosial untuk kaum miskin kota dan anak jalanan
Hentikan dengan segera penangkapan dan tindak kekerasan terhadap kaum miskin kota dan anak jalanan. Ciptakan program sosial untuk memperbaiki kehidupan kaum miskin kota dan anak jalanan dengan program pendidikan, perumahan, pelatihan tenaga kerja, penyediaan lapangan kerja, dan bimbingan sosial.

Perlindungan Lingkungan Hidup
Bangun sistem transportasi publik yang gratis dan bersih. Hentikan penambangan dan penembangan kayu ilegal. Sistem ekonomi profit harus diganti dengan sistem ekonomi berdasarkan kebutuhan manusia yang menghormati lingkungan hidup. Hanya dengan perencanaan ekonomi secara sosialis maka kelestarian lingkungan hidup dapat terjaga.

Persamaan gender
Upah sama untuk kerja yang sama. Lawan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan keluarga. Bebaskan perempuan dari kungkungan rumahtangga dengan menyediakan pelayanan penitipan anak gratis, cuti hamil 18 bulan yang dibayar penuh dengan jaminan kembali kerja.



Akhiri semua bentuk diskriminasi
Lawan diskriminasi ras, agama, suku, gender, dan seks. Persatuan rakyat pekerja adalah satu-satunya cara untuk melawan diskriminasi.

Federasi Dunia Sosialis
Buruh sedunia bersatulah! Bentuk Federasi Asia Tenggara Sosialis sebagai bagian dari Federasi Asia Sosialis, untuk menuju Federasi Dunia Sosialis.


Dalam artikelnya berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi,” yang dimuat di Fikiran Ra’jat tahun 1932, Bung Karno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat.

Sosio-nasionalisme, menurut Bung Karno, akan menjadi menghilangkan kepincangan di dalam masyarakat, sehingga tidak ada lagi penindasan, tidak ada lagi kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara. Karena itu, Bung Karno menegaskan, sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) yang menjadi penyebab kepincangan di dalam masyarakat itu.



Selain itu, dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “jika yang lima saya peras menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong-Royong.”

Menurutnya, negara Indonesia yang didirikan haruslah negara yang gotong-royong, yaitu pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua, keringat semua buat semua.

Artinya jelas: semua bekerja bersama-sama, membanting tulang bersama-sama, dan hasilnya untuk bersama-sama. Itu kan hampir sama dengan prinsip sosialisme Indonesia: sama rasa, sama rata. Artinya jelas: Pancasila itu anti segala bentuk penghisapan dan penindasan. Ya,Pancasila memang kiri!

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara atau “Weltanschauung” (pandangan hidup) bermakna memastikan perjalanan bangsa Indonesia tetap di jalur kiri, yakni anti-penghisapan dan penindasan. Proses penyelenggaraan negara harus berdasarkan Pancasila. Artinya, semua produk kebijakan negara harus bersifat anti-eksploitasi dan penghisapan.

Artinya, kalau ada organisasi atau lembaga negara yang melarang pemikiran atau organisasi kiri menggunakan Pancasila, berarti mereka telah menyelewengkan Pancasila yang dipidatokan oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.


(militanindonesia)

Diskusi Politik Pemilu 2014



Diskusi politik bertema “Pemilu 2014 adalah pemilunya kaum borjuis; bangun gerakan rakyat dengan kemandirian politik untuk kekuasaan rakyat!” yang digagas oleh Militan Indonesia, Partai Pembebasan Rakyat, Lembaga Advokasi Kerakyatan, GSPB, Pembebasan serta kerja bareng Toko Buku Buruh Membaca dan Majalah Ganesha-ITB Bandung berlangsung cukup lancar dan dihadiri sekitar 30 peserta—meliputi buruh, mahasiswa, pengacara dan pengajar. Acara yang dimoderatori oleh Arie Pembebasan ini diadakan pada tanggal 20 April 2013 dengan menghadirkan tiga pembicara: Jesus SA (Militan Indonesia), Nanang Ibrahim (GSPB), dan Barra Pravda (Partai Pembebasan Rakyat).

Barra Pravda, sebagai pemapar pertama, menyampaikan poin-poin penting mengenai Pemilu 2014. Pemaparan Pravda mengandungi, setidaknya, tiga kalimat kunci: pertama, Pemilu 2014 sebagai perhelatan kaum borjuis; kedua, mengorganisasi kekuatan rakyat menjadi bangunan politik rakyat; ketiga, membuka saluran-saluran politik ke seluruh elemen progresif.

Lebih jauh Pravda menunjukkan fakta-fakta historis, sebagai fakta-fakta politik, bahwa selama ini kaum borjuis telah menggunakan hak suara rakyat untuk memperlancar agenda-agenda mereka; menjarah kekayaan rakyat melalui kursi-kursi di parlemen, di lembaga eksekutif dan yudikatif. Oleh sebab itu, lanjut Pravda, sekarang saatnya rakyat tidak bisa lagi dibodohi dan dijadikan komoditas politik oleh para elit. Dan sebagai jawabannya, terkait dengan sikap politik rakyat dalam Pemilu 2014 nanti, rakyat pekerja butuh saluran-saluran politik yang bersifat independen, yakni membangun partai mereka sendiri!

Pembicara kedua, Nanang Ibrahim (GSPB), mengatakan bahwa pilihan yang tepat bagi buruh—jika dalam Pemilu 2014 nanti belum terbangun partai revolusioner berbasis buruh—adalah absen (golput) dalam Pemilu 2014. Absennya kaum buruh, tentu, lanjut Nanang, bukan absen yang biasa, tetapi suatu sikap dan ekspresi politik yang terbangun di atas dasar kesadaran kelas. Pasalnya, ilusi-ilusi yang dijanjikan oleh kaum borjuasi di berbagai pemilu tak pernah terbukti. Bahkan tidak hanya tidak terbukti, tetapi ilusi-ilusi borjuis tersebut telah membodohi dan menggiring jutaan manusia ke barak-barak eksploitasi.

Pembicara terakhir, Jesus S. Anam (Militan Indonesia), menyampaikan hal senada dengan pembicara pertama dan kedua. Namun Jesus fokus mengajak peserta diskusi ke arah “pembacaan masalah”—setelah, secara sosiologis, menjelaskan mengenai sejarah pertarungan kelas di dalam masyarakat. Menurut Jesus, setelah berhasil membaca masalah, maka selanjutnya adalah membangun jalan awal penyelesaian dengan menempatkan ideologi revolusioner sebagai pondasi gerakan. Demokrasi borjuis, lanjut Jesus, sudah penuh dengan masalah sejak dari praktek awal. Konsensus bebas, sebagai ruh demokrasi borjuis, telah menghasilkan sebuah kompetisi yang bebas dan, selanjutnya, memberi akses kepada para pemilik modal menuju kekuasaan. Biaya politik yang mahal menyebabkan sistem rekrutmen yang tidak adil, karena untuk bisa duduk di jajaran kekuasaan harus merogoh uang dalam kantongnya sendiri dengan jumlah miliaran. Akhirnya, hanya mereka yang memiliki banyak modal yang bisa menjadi bagian dari kekuasaan; selebihnya sebagai penonton yang hanya bisa bertepuk-tangan. Tak hanya sampai di situ, kapital yang sudah dikeluarkan untuk membiayai praktek politiknya, logikanya, akan dipandang sebagai investasi, dan, tentu, investasi-investasi tersebut “harus bisa kembali”. Inilah jawaban awal dari pertanyaan “mengapa para pejabat cenderung untuk melakukan korupsi”.

Jalan alternatif awal yang disampaikan oleh Jesus, sebagai sikap politik rakyat pekerja terhadap Pemilu 2014, sebagaimana yang telah diutarakan oleh Pravda dan Anang, adalah menolak untuk terlibat di dalam perhelatan politik kaum borjuis dalam Pemilu 2014 mendatang—sebelum rakyat pekerja berhasil mendirikan partai massanya sendiri.

Pada menit-menit terakhir, Jesus memberi penegasan mengenai bagaimana membangun partai yang solid dan berkarakter revolusioner. Menurut Jesus, partai revolusioner akan terbangun jika, pertama-tama, dasar pijaknya adalah ideologi yang revolusioner; kedua, partai revolusioner harus dihidupi oleh kekuatan finansialnya sendiri; ketiga, partai revolusioner harus memiliki gagasan, program, metode, tradisi dan, terakhir, aparatus yang jelas.

(militanindonesia)

Peraturan Upah

Permen 17 2005 standar 
dan komponen penetapan khl

Permennakertrans 13-2012    

 KebutuhanHidupLayak

Avokasi Upah

Indonesia vs Imperalisme (Migas)



Hari ini hampir 85% migas Indonesia ada di tangan asing. Kendati kekayaan migas yang besar, negeri kita tetap tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Banyak pihak, dari berbagai spektrum politik, yang hari ini mengutuk dominasi modal asing di sektor migas dan kebijakan migas pemerintahan Indonesia yang memungkinkan semakin kuatnya dominasi asing ini.

Maka dari itu, berbicara mengenai sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi, mustahil untuk tidak berbicara mengenai dominasi modal asing di sumur-sumur migas yang tersebar di seluruh penjuru bangsa ini. Bukan kerakusan semata yang mendorong modal asing untuk, seperti ujar Marx, “bersarang dimana-mana, bertempat dimana-mana, mengadakan hubungan-hubungan dimana-mana”. Di balik kerakusan tersebut adalah gerak ekonomi kapitalisme imperialis, dimana ekspor kapital menjadi keharusan dan konsekuensi dari akumulasi kapital. Oleh karenanya untuk memahami dominasi modal asing di Indonesia, dan terlebih lagi bagaimana kita dapat menghadapi mereka, kita harus meneliti gerak perkembangan kapitalisme. Terlebih lagi kalau kita ingin melawan dominasi ini. Dominasi modal asing tidak bisa dilawan hanya dengan menolak modal asing dengan seruan “Go to hell with your aid!”

Kapitalisme lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang menjunjung tinggi persaingan bebas. Gebrakan pertama mereka adalah Revolusi Belanda pada abad ke-16, yang lalu disusul dengan Revolusi Inggris 1648 dan Revolusi Prancis yang megah pada 1789. Kompetisi bebas inilah yang membuat kapitalisme lebih progresif daripada sistem feodalisme yang otokratik dan konservatif. Kompetisi bebas dari kapitalisme awal adalah sebuah kemajuan bagi peradaban manusia saat itu. Dengan kompetisi bebas, kapitalisme dapat terus merevolusionerkan alat-alat produksi dan teknologi. Ia membebaskan manusia dari kegelapan sistem feodalisme yang sudah membusuk.

Seperti halnya seorang bayi yang beranjak dewasa, begitu juga kapitalisme. Proses persaingan bebas dalam kapitalisme melahirkan monopoli. Setiap kali sebuah perusahaan menang dalam persaingan bebas, ia bertambah kuat. Modal dan pasarnya semakin luas. Misalnya pada 1830 perusahaan terbesar di dunia adapah pabrik besi-baja Cyfartha dengan jumlah pekerja 5000 orang dan aset total 2 juta dolar. Hari ini Walmart memperkerjakan 2,2 juta pekerja dan memiliki aset 190 milyar dolar. Proses konsentrasi ini terus berlangsung hingga akhirnya hanya tersisa segelintir pengusaha besar dengan kapital dan pasar raksasa di tangannya. Dengan cara ini kompetisi berubah menjadi monopoli, dan bisa dikatakan proses ini selesai kira-kira pada awal abad ke-20. Sejak itu, monopoli telah menjadi fitur utama kapitalisme hari ini. Persaingan bebas, walaupun masih ada, sudah bukan lagi fitur dominan.

Tidak hanya monopoli, kita juga saksikan pembentukan kartel dan konglomerasi. Monopoli-monopoli besar bekerja sama membentuk kartel dimana mereka mengatur harga, membagi-bagi pasar, menentukan jumlah produksi, dan lain sebagainya. Dengan cara ini mereka mengeruk keuntungan sebesar mungkin. Tahun ini saja misalnya, LG, Samsung, dan 4 perusahaan lain tertangkap basah mengatur harga panel LCD; Dow Chemical, perusahaan kimia terbesar dunia, didenda 400 juta dolar karena mengatur harga produk urethane; Apple sedang diperiksa karena diduga terlibat dalam pengaturan harga ebook. Kita lihat bahwa harga sudah bukan lagi ditentukan semata oleh hukum permintaan dan penawaran, sudah bukan lagi ditentukan oleh siapa yang bisa memproduksi lebih efisien dan lebih murah, tetapi oleh monopoli dan kartel.

OPEC, Organization of the Petroleum Exporting Countries, juga adalah bentuk kartel, dimana negara-negara produsen minyak bersama-sama mengatur jumlah produksi mereka agar harga minyak tetap menguntungkan bagi mereka. Ironisnya, pembentukan kartel OPEC ini adalah respon terhadap dominasi perusahaan-perusahaan minyak raksasa saat itu (tahun 1950an) yang membentuk kartel “Seven Sisters”, yang terdiri dari Exxon, Mobil, Chevron, Texaco, Gulf Oil, Shell and BP. Kartel “Seven Sisters” ini pada masa kejayaannya tahun mengontrol sekitar 85% cadangan minyak dan mampu mendikte banyak negara-negara produsen minyak dari Dunia Ketiga. Paska Perang Dunia Kedua, “Seven Sisters” menguasai sumur-sumur minyak di Timur Tengah dan dengan kekuatan kartelnya mengontrol harga minyak dunia. Pada tahun akhir 1950an dan 1960an, gelombang nasionalisme menyapu Dunia Ketiga dan negara-negara produsen minyak akhirnya bersatu dan mengatakan “Tidak” kepada kartel “Seven Sisters” dengan membentuk kartel minyak mereka sendiri. Seperti yang dikatakan oleh seorang delegasi OPEC, OPEC dibentuk “sebagai sebuah kartel untuk melawan sebuah kartel”.

Akan keliru kalau kita mengatakan bahwa pembentukan OPEC adalah kemenangan kekuatan anti-imperialis hanya karena OPEC menentang kartel minyak Barat. Kendati retorika-retorika anti-imperialis dari para pemimpin anggota OPEC, pada kenyataannya negara-negara ini hanya menjaga kepentingan mereka sendiri. Harga minyak yang tinggi hanya mengutungkan 12 negara OPEC dan merugikan banyak negeri miskin lainnya yang tergantung pada minyak. Terlebih lagi, keuntungan besar yang didapati oleh 12 negara OPEC ini hanya menguntungkan kelas atas di negeri-negeri tersebut, dan sedikit sekali yang mengalir ke rakyat jelata. Pada analisa terakhir, perseteruan antara OPEC dan kartel Barat “Seven Sisters” adalah perseteruan antara borjuasi nasional dan borjuasi asing untuk kue jarahan “migas” yang lebih besar.

Dengan semakin terkonsentrasikannya kapital, semakin terkonsentrasi juga produksi. Perusahaan-perusahaan besar tidak lagi hanya aktif di satu bidang saja tetapi juga melakukan bisnis di banyak sektor. Mereka menemukan bahwa dengan mengkontrol berbagai sektor industri, dari hulu hingga hilir, dari suplai bahan mentah sampai ke pemasaran produk akhir, mereka bisa mendapatkan dominasi absolut. Dalam industri minyak, perusahaan-perusahaan minyak besar seperti ExxonMobile, Chevron, BP, dan Dutch Shell menguasai industri minyak dari hulu hingga hilir, sehingga walaupun mereka hanya memproduksi 10% migas di dunia mereka masih punya kontrol luar biasa besar atas seluruh industri migas dunia.

Inilah wajah kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme yang bersifat monopoli yang terus mengkonsentrasikan kapital, dengan kartel dan konglomerasi yang mengikat seluruh ekonomi dunia ke tangan segelintir perusahaan raksasa. Inilah yang disebut oleh Lenin sebagai Imperialisme, yakni tahapan tertinggi kapitalisme.

Hari ini, hampir 85% minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh asing. Investasi asing di sektor migas juga semakin meningkat, dari 11 milyar dolar AS pada 2010 menjadi 13,7 milyar pada 2011, yakni peningkatan hampir 20%. Kenaikan investasi ini menunjukkan bahwa modal asing semakin mendominasi di sektor migas Indonesia. Kenaikan ini juga dipicu oleh kebijakan pemerintahan yang bertujuan menarik investasi asing, dengan menaikkan pembagian hasil produksi untuk perusahaan asing. Pada saat yang sama, di tengah membanjirnya investasi asing untuk produksi migas, Indonesia justru telah menjadi net importer minyak bumi. Tidak mengherankan kalau banyak pihak hari ini, dari berbagai spektrum politik, mengeluh mengenai hilangnya kedaulatan migas negeri ini.

Sejak awal Indonesia tidak pernah punya kedaulatan terhadap sumber daya alamnya sendiri. Kapitalisme imperialis yang global telah mengikat kaki dan tangan negeri ini dan menjadikannya hamba modal asing. Hanya pada periode singkat di bawah kepemimpinan Soekarno negeri ini memiliki kedaulatan atas ekonomi dan sumber dayanya. Namun kedaulatan di bawah rejim Soekarno ini pun kalau kita teliti ternyata bersifat sementara, rapuh, dan ilusif. Segera setelah Soekarno menentang kepentingan modal asing, maka berhenti pula kucuran modal dari asing, yang lalu menciptakan kesulitan ekonomi di negeri ini. Walau Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat beragam dan kaya, Indonesia tidak memiliki kapasitas teknologi untuk mengolahnya. Bahkan bila Indonesia mampu mengolahnya, ia masih tergantung pada pasar dunia. Negeri-negeri kapitalis Barat dengan kendalinya terhadap kapital dan pasar dunia dapat dengan mudah melakukan boikot dan meluluhlantakkan ekonomi Indonesia atau negeri-negeri yang menentangnya. Inilah yang dilakukan oleh kekuatan imperialisme terhadap pemerintahan Soekarno, Fidel Castro, almarhum Hugo Chavez, dan lainnya.

Setelah Fidel Castro beserta rakyat Kuba menumbangkan kediktatoran Batista yang adalah pelayan imperialisme AS, pemerintahan Paman Sam ini segera melakukan boikot kapital dan embargo ekonomi terhadap pemerintahan baru ini karena politiknya yang pro-rakyat. Karena keberadaan Uni Soviet, ekonomi Kuba dapat selamat dari boikot kapital dan embargo ekonomi dari seluruh negeri kapitalis. Akan tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet dan blok Timur pada akhir 1980an, Kuba akhirnya terisolasi. 80 persen perdagangan Kuba adalah dengan Uni Soviet dan negeri-negeri blok Timur. Dari tahun 1989 hingga 1993, GDPnya menyusut 35 persen, ekspor menyusut 79%, dan impor 75%. Revolusi Kuba mengalami cobaan terbesarnya pada periode ini dan pemerintahan Castro perlahan-lahan terpaksa melaksanakan serangkaian kebijakan yang mengerus sistem ekonomi sosialis mereka, di antaranya adalah membuka dirinya untuk investasi asing, promosi turisme sebagai sumber devisa asing, legalisasi dolar AS, desentralisasi perdagangan luar negeri, legalisasi bisnis-bisnis kecil, dsb. Kebijakan-kebijakan ini didikte oleh keharusan mereka untuk bisa selamat di tengah lautan kapitalisme. Namun kebijakan-kebijakan ini telah menciptakan kontradiksi di dalam masyarakat sosialis Kuba. Mereka telah menciptakan elemen-elemen pro-kapitalis di dalam masyarakat Kuba, terutama birokrat-birokrat pemerintah dan Partai Komunis Kuba yang mendapatkan keuntungan darinya. Mereka punya kepentingan untuk mendorong proses restorasi kapitalisme di Kuba, dalam kata lain mendorong proses kembalinya dominasi kapital asing di Kuba. Kuba sangatlah tergantung pada pasar dunia.

Sementara di Venezuela, Revolusi Bolivarian telah memberikan dorongan besar pada gerakan anti-imperialisme. Hugo Chavez dengan berani terus menentang kepentingan modal asing di Venezuela, terutama di sektor migas dimana Venezuela adalah eksportir minyak bumi kedua terbesar di dunia (15,2% produksi minyak di dunia). Kontrak-kontrak dengan perusahaan minyak asing direnegosiasi dimana pemerintah menuntut pembagian hasil yang lebih besar. Dengan laba minyak ini Chavez mendanai program-program sosial yang menyediakan pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi makanan untuk rakyat miskin, pembangunan perumahan rakyat, dsb. Jutaan rakyat Venezuela terangkat dari lembah kemiskinan. Karena kebijakan pro-rakyat miskin Chavez selama 14 tahun terakhir, Venezuela adalah negara dengan koefisien Gini – indeks kesenjangan pendapatan dan kekayaan – terendah di Amerika Latin, yakni 0,39. Merespon ini, kaum oposisi, dari dalam dan dari luar, telah melakukan boikot kapital dan sabotase ekonomi. Investasi dari swasta, nasional dan asing, telah menukik tajam. Kapitalis Venezuela yang masih menguasai berbagai sektor industri melakukan berbagai sabotase ekonomi, terutama sabotase dalam produksi dan distribusi bahan makanan sehingga menciptakan kelangkaan bahan makanan. Sabotase ekonomi dengan menggunakan kekuatan modal besar yang mereka miliki adalah taktik yang biasa dilakukan oleh kekuatan kapitalis. “Buat ekonominya menjerit,” begitu tulis Presiden Herry Kissinger kepada CIA dalam usaha AS untuk menumbangkan Presiden Salvador Allende di Chile pada awal 1970an. Kendati Chavez dan Revolusi Bolivarian telah mulai merenggut kedaulatan nasional mereka dari cengkraman asing, kedaulatan ini masih rapuh dan belum teramankan secara pasti karena Revolusi yang belum selesai.

Kedaulatan nasional di bawah kerangka sistem kapitalisme imperialis yang global adalah sebuah kedaulatan yang sangatlah rapuh. Apa ini berarti kedaulatan nasional atas migas adalah sesuatu yang mustahil? Tidak. Ini hanya berarti bahwa selama kita masih berada di bawah kapitalisme imperialis global, maka kemerdekaan apapun yang telah kita raih akan terus berada di bawah tekanan. Ia akan terus tergerus. Oleh karenanya untuk meraih kedaulatan nasional atas migas kita harus memukul kapitalisme imperialis secara keseluruhan. Tidak cukup hanya dengan menolak modal asing. Tidak cukup hanya dengan re-negosiasi kontrak atau nasionalisasi migas. Seluruh sendi-sendi kapitalisme harus diserang, dan sendi utama dari kapitalisme adalah kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan pasar bebas.

Di poin inilah kebanyakan kritik terhadap dominasi modal asing kebablasan. Para kritikus ini menolak dominasi modal asing tanpa menolak sistem ekonomi yang menjadi dasar dari dominasi modal asing tersebut. Mereka menolak kapital asing tanpa menolak kapitalisme, yakni sistem penindasan ekonomi yang dilakukan oleh kapital terhadap buruh di atas dasar kepemilikan pribadi alat-alat produksi. Pada akhirnya para kritikus ini bermimpi kembali ke jaman kapitalisme awal, dimana tidak ada monopoli dan korporasi multinasional dengan modalnya yang bersarang dimana-mana. Mereka menginginkan kapitalisme yang adil, dimana setiap pengusaha punya kesempatan yang sama untuk berhasil. Mereka ingin memutar balik roda sejarah. Akan tetapi siapa yang mencoba memutar balik roda sejarah biasanya akan berakhir tergilas olehnya. Kita hanya bisa bergerak maju dalam roda sejarah. Marx dan Engels telah menulis panjang lebar dan dengan detil sistem ekonomi apa yang akan menyongsong kapitalisme, yang akan menjadi keniscayaan untuk menjawab semua kontradiksi di dalam kapitalisme. Ia adalah sosialisme.

Nasionalisasi adalah jawaban untuk menghancurkan dominasi asing di dalam sektor migas. Namun ini harus juga disertai dengan nasionalisasi semua sektor ekonomi penting, termasuk perbankan, dan perubahan sistem ekonomi pasar bebas menjadi sistem ekonomi terencana. Rantai kapital harus dipatahkan dengan merebut alat-alat produksi – yakni alat-alat yang memungkinkan akumulasi dan ekspansi kapital – dan membuatnya menjadi milik publik. Aktor utama dalam gerakan nasionalisasi ini adalah kelas yang secara fundamental bertentangan dengan kelas kapitalis, yakni kelas buruh. Proses ini yang dimulai di arena nasional harus pada akhirnya diselesaikan di arena internasional. Seperti yang telah dikemukan di atas, kedaulatan nasional yang sejati tidak dapat diraih di tengah lautan sistem kapitalisme imperialis global.

Perjuangan Melawan Kenaikan BBM


Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, sudah menginstruksikan kepada semua gubernur, bupati dan wali kota di seluruh Indonesia untuk melakukan sosialisasi terhadap rencana kenaikan harga BBM. Instruksi Menteri ini bukan semata-mata agar masyarakat mengetahui bahwa dalam waktu dekat pemerintah akan merealisasikan rencana kenaikan BBM, tetapi juga sebagai langkah antisipasi dan penanganan terhadap gejolak sosial yang akan terjadi.

Ya, gejolak sosial pasti akan terjadi karena kebijakan pemerintah ini sungguh tidak populer. Gerakan buruh yang dalam satu tahun belakangan ini telah menjadi semakin besar sudah mengancam akan turun untuk menentang kenaikan BBM. Penjelasan yang paling logis pun, menurut pemerintah, mengenai penghapusan subsidi BBM tetap tidak masuk akal di mata dan pikiran rakyat. Persepsi sederhana dari rakyat mengenai Negara adalah bahwa Negara harus tetap memberi subsidi pada kebutuhan-kebutuhan vital. Alasan Presiden bahwa “jika beban subsidi BBM tidak dikurangi maka akan mempengaruhi kondisi keuangan Negara” jelas-jelas merupakan argumentasi yang tidak pro rakyat. Sementara pemakluman yang diberikan oleh DPR kepada pemerintah mengenai rencana ini terlihat sarat dengan kepentingan, terutama terkait dengan anggaran untuk DPR. Ucapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, mengenai kaitan antara kenaikan harga BBM dan gaji pejabat negara tentulah menjadi pertimbangan tersendiri bagi rakyat untuk membiarkan atau memberi pemakluman kepada pemerintah. “Apabila BBM subsidi tak dinaikkan,” Ucap Jero Wacik, “maka gaji pejabat negara maupun anggota DPR, termasuk para menteri, tidak bisa dibayar oleh negara.”

Masyarakat merespon persoalan ini dengan logika yang sederhana, bahwa penuntasan semua kasus korupsi dapat menyelamatkan keuangan negara; bahwa dengan memberi gaji dan tunjungan yang tidak berlebihan kepada DPR dan pejabat negara, termasuk menteri, juga akan menuntaskan defisit keuangan negara — jika alasan utama kenaikan harga BBM karena kondisi keuangan negara. Jadi di mata rakyat, persoalan ini merupakan persoalan yang mudah diselesaikan jika ada “political will” dari para penyelenggara negara.

Tapi kebijakan ekonomi pro rakyat seperti ini sudah bisa dipastikan tidak akan dijalankan oleh pemerintah. Sistem kapitalisme, terutama ketika ia sedang memasuki krisis global, tidak mengijinkan kebijakan ekonomi yang memberikan konsesi kepada rakyat pekerja. Justru sebaliknya yang kita lihat di seluruh dunia adalah kebijakan penghematan. Kapitalisme, sebagai sistem yang menjunjung tinggi kepemilikan pribadi, akan tetap berpijak di atas logika bisnis dan pasar—untuk kepentingan pribadi—yang disponsori dan diintervensi oleh pemerintah di bawah tekanan kapitalisme global.

Rencana kenaikan harga BBM tak lepas dari kepentingan kapitalisme global untuk membangun lahan investasi yang subur di Indonesia. Untuk bisa mendapatkan profit yang lebih tinggi, para kapitalis membutuhkan sarana dan prasarana ekonomi yang baik, di satu piahk UU yang mendukung investasi (termasuk UU perburuhan) dan di lain pihak adalah infrastruktur ekonomi. Inilah alasan utama dari kenaikan BBM, yakni untuk menciptakan ruang di dalam anggaran pemerintah yang lalu dapat digunakan untuk membangun infrastruktur ekonomi yang diperlukan oleh kaum kapitalis untuk bisnis mereka. S&P, yakni institusi finansial dunia, telah memberikan peringatan kepada pemerintahan Indonesia bahwa bila BBM tidak naik – dan tidak ada investasi infrastruktur yang serius – maka tingkat pertumbuhan ekonomi tidak akan terjamin. Ini bukanlah akal-akalan atau tipuan, tetapi adalah logika kapitalisme. Pada krisis global hari ini, walaupun Indonesia tidak terimbas langsung dan secara besar, ia tetap harus mengikuti logika kapitalis. Subsidi untuk rakyat pekerja harus dikorbankan untuk diberikan kepada kaum kapitalis, untuk menjamin profit mereka. Inilah yang ada di balik semua program penghematan di seluruh dunia hari ini.

Lalu bagaimana? Ya, fakta telah membentuk kesadaran politik kaum buruh. Borjuasi dengan segala program “baik”nya tetap bukan sebagai tempat yang tepat untuk menaruh harapan kaum buruh. Logika dari akumulasi kapital tetap akan menciptakan nilai lebih dengan cara mengeksploitasi kaum proletar; dan menjadikan kaum buruh sebagai komoditas—baik sebagai komoditas di dalam aktifitas ekonomi maupun politik.

Rencana kenaikan harga BBM yang akan direalisasikan dalam waktu dekat bukan saja sebagai bukti ketidakberhasilan pemerintah ataupun seorang pemimpin, tetapi ketidakberhasilan suatu kelas, yakni borjuasi. Jadi penyelesaian fundamental dari persoalan ini bukan dengan mengganti pemimpin atau mencari-cari pemimpin ideal, tetapi dengan menghancurkan sistem yang lama dan diganti dengan sistem yang baru—oleh perjuangan kelas buruh!

Hari ini adalah momentum besar bagi kaum buruh untuk mengkonsolidasi kekuatannya, dengan memberikan kepemimpinan terhadap gerakan menentang kenaikan harga BBM. Pada tahun lalu buruh bisa memukul mundur pemerintah, maka hari ini ketika gerakan buruh telah berlipat ganda dalam jumlah dan kualitas, maka tidak ada alasan mengapa gerakan buruh tidak bisa memukul mundur pemerintah hari ini. Ketidakpercayaan rakyat terhadap kebijakan pemerintah; rasa skeptis rakyat terhadap partai-partai politik yang ada; menurunnya antusiasme rakyat terhadap pemilu 2014; dan juga fakta mengenai gelombang pemogokan buruh yang masif akhir-akhir ini bisa menjadi titik pijak bagi proletariat Indonesia untuk mengambil kepemimpinan politik seluruh bangsa. “Sebuah pemogokan politik kaum proletar harus berubah menjadi sebuah demonstrasi politik massa,” tulis Trotsky, “ini merupakan syarat pertama untuk kesuksesan.”

Energi revolusioner yang sangat besar sudah mulai terbentuk. Energi ini harus dijaga agar tidak menguap begitu saja. Energi ini tidak boleh dihamburkan oleh proletariat di dalam agenda-agenda politik borjuis; tidak boleh dihabiskan untuk kesemarakan pemilu borjuis 2014. Proletariat yang paling maju harus terus mengkonsentrasikan kegeraman, kemarahan, protes-protes, kegusaran, dan kebencian rakyat ke arah pemenuhan tugas historis proletariat, yakni perebutan kekuasaan. Proletariat harus bisa menyatukan seluruh elemen tertindas dengan slogan yang sama, dengan tujuan yang sama, dan di bawah kepemimpinan buruh. Bila perjuangan ini tercapai, maka, setidaknya, setengah revolusi telah tercapai.

(militanindonesia)